Oleh Aji Mirni Mawarni, ST, MM
Mediaborneo.net, Samarinda – Ketika tulisan sederhana ini hadir di ruang baca, mungkin Anda sedang serius menyimak sejumlah isu aktual tentang implementasi program Makan Bergizi Gratis (MBG). Salah satunya terkait kasus keracunan massal di beberapa daerah di Indonesia. Isu ini tentu membuat kita prihatin sekaligus terdorong memberikan koreksi yang konstruktif.
Para pengelola Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur MBG harus benar-benar melakukan kontrol kualitas secara cermat dan hati-hati, mulai dari pemilihan bahan pangan, penyiapan bahan baku, proses memasak, pembersihan food tray, penataan porsi, hingga distribusi ke sekolah-sekolah.
Selain itu, pengawasan internal maupun eksternal juga harus ditingkatkan. Ahli gizi di SPPG wajib menjalankan peran maksimal tanpa sungkan atau ragu. Dari sisi eksternal, Dinas Kesehatan bersama BPOM juga harus memastikan pengawasan berjalan ketat.
Namun, dalam tulisan ini saya ingin menyoroti sisi lain dari program MBG yang jarang diungkap.
Pertama, banyak orangtua murid, khususnya dari keluarga kurang mampu, merasa sangat terbantu. Sebagian dari mereka belum bisa menyiapkan sarapan atau memberi uang saku yang cukup untuk anaknya. Kehadiran makan siang gratis menghadirkan senyum di wajah mereka.
Kedua, dapur MBG menyerap banyak tenaga kerja. Berdasarkan informasi yang saya terima, satu SPPG yang menyiapkan 4.000 porsi per hari bisa mempekerjakan sekitar 50 orang, mulai dari ahli gizi, juru potong bahan, juru masak, tenaga penyiapan porsi, petugas kebersihan, hingga sopir. Pekerja ini berasal dari kalangan ibu rumah tangga, korban PHK, hingga lulusan baru sekolah.
Ketiga, keuntungan usaha SPPG ternyata relatif kecil. Untuk satu porsi MBG, pengelola hanya mendapat laba sekitar Rp500–Rp1.000. Menu harus lengkap, bergizi, dengan modal awal dan dana talangan yang besar. Risikonya juga tinggi. Artinya, usaha ini lebih mirip bisnis sosial, bukan bisnis komersial murni.
Keempat, dengan keuntungan sekecil itu, wajar bila pengusaha besar, khususnya katering, tidak tertarik. Pertumbuhan jumlah SPPG berjalan lambat, hingga Presiden RI mendorong berbagai pihak ikut serta. Data Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat, dari 8.344 SPPG yang aktif, seluruhnya dikelola swasta atau perorangan. SPPG berbasis APBN baru akan dibangun oleh Kementerian PU dan BGN, termasuk untuk daerah 3T.
Tak heran bila kemudian beberapa anggota dewan, baik pusat maupun daerah, ikut terlibat. Mereka memiliki kemampuan finansial sekaligus rela menerima keuntungan kecil demi keberlangsungan MBG. Beberapa waktu terakhir, muncul pemberitaan tentang SPPG milik anggota dewan. Saya melihatnya sebagai bentuk misi sosial, bukan semata bisnis.
Kelima, ke depan, program MBG akan disinergikan dengan Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih) sebagai pemasok bahan baku. DPD RI mendukung langkah ini karena Kopdes Merah Putih diharapkan bisa memutus mata rantai tengkulak yang selama ini membeli hasil panen petani dengan harga rendah lalu menjualnya kembali dengan harga tinggi. Dengan sinergi ini, petani dapat menjual hasil produksinya dengan harga lebih layak.
Kita semua sepakat bahwa gizi adalah kunci tumbuh kembang anak bangsa dan merupakan investasi strategis masa depan RI. Bagi orangtua mampu, MBG mungkin dianggap sekadar pengganti catering sekolah fullday. Namun bagi siswa di sekolah negeri, program ini adalah karunia besar. Menunya lengkap, hemat uang jajan, meski citarasanya sederhana karena harus mengikuti SOP non-MSG.
Kini, mari kita beri ruang bagi pemerintah dan pengelola SPPG untuk bekerja dengan serius, meningkatkan pengawasan, dan memperkuat quality control. Sebab, bila program ini diganti dengan uang tunai, ada kemungkinan tujuannya tidak tercapai. Di sisi lain, pengelola SPPG juga harus tegas dilarang melakukan mark-up harga atau mengatur menu secara asal-asalan. (*)