Krisis Pendidikan di Kutai Timur, Tertinggi di Kaltim, Ribuan Anak Tidak Sekolah Butuh Perhatian Serius

Mediaborneo.net, Samarinda –   Masalah pendidikan di Kutai Timur kembali mencuat. Berdasarkan data resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kutai Timur mencatat jumlah anak tidak sekolah tertinggi di Kalimantan Timur, mengalahkan Kutai Kartanegara dan Kota Samarinda. Temuan ini diungkap oleh Pergerakan Mahasiswa Kaliorang (PMK) saat melakukan kunjungan resmi ke Fraksi PKS DPRD Kalimantan Timur.

Pertemuan yang berlangsung di ruang Fraksi PKS DPRD Kaltim tersebut diterima oleh Agusriansyah Ridwan, anggota Komisi IV sekaligus Sekretaris Fraksi PKS. Dalam dialog terbuka itu, PMK menekankan urgensi penyelesaian kesenjangan akses pendidikan di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar).

Ketua PMK, Irbhani, memaparkan bahwa per 10 Maret 2025, Kutai Timur memiliki 9.945 anak belum pernah bersekolah, 1.996 anak putus sekolah (drop out), 1.470 anak lulus tapi tidak melanjutkan pendidikan.

“Ini bukan sekadar angka, tapi potret nyata bahwa akses pendidikan di Kutai Timur masih sangat memprihatinkan,” ujar Irbhani.

Sebagai perbandingan, Kutai Kartanegara: 5.523 anak belum sekolah, 2.945 drop out, 3.627 tidak melanjutkan, Kota Samarinda: 4.221 belum sekolah, 2.076 drop out, 2.079 tidak melanjutkan.

Menanggapi hal tersebut, Agusriansyah Ridwan menegaskan perlunya sistem data pendidikan yang akurat dan real-time di tingkat daerah. Ia menyarankan agar Pemkab Kutai Timur membangun basis data sendiri untuk memastikan kebijakan yang diambil benar-benar berbasis bukti.

“Ketika BPS atau Kemendikbud merilis data, pemerintah daerah harus punya pembanding. Data yang valid adalah fondasi solusi,” tegas Agusriansyah.

Agusriansyah juga mendorong pembentukan tim riset independen untuk mengkaji faktor penyebab tingginya angka anak tidak sekolah di Kutai Timur. Ia menduga penyebabnya antara lain anak usia sekolah sudah bekerja, tidak tersedia sekolah di sekitar tempat tinggal, biaya transportasi lebih mahal dari biaya sekolah.

“Jangan hanya klaim sekolah gratis, tapi kenyataannya ongkos ke sekolah memberatkan. Pemerintah wajib hadir menyelesaikan hambatan geografis dan sosial ini,” tegasnya.

Ia juga menyoroti pentingnya pendidikan kontekstual, yang selaras dengan kultur lokal dan potensi daerah. Hal ini akan membuat lulusan tidak hanya terdidik, tapi juga siap berkontribusi langsung terhadap pembangunan wilayahnya. (Koko/M Jay)

Share