MEDIABORNEO.NET, SAMARINDA – Recofusing anggaran dan perubahan regulasi Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) disebut-sebut sebagai penyebab tidak maksimalnya serapan anggaran di OPD tahun 2021.
Ketua Komisi II DPRD Kaltim Veridiana Huraq Wang mengungkap, diantara OPD yang serapannya tak maksimal tersebut adalah Dinas Perikanan Kaltim dan Dinas Kehutanan Kaltim.
Pada Dinas Perikanan Kaltim, kata dia, realisasi anggaran tahun 2021 baru mencapai 62 persen. Itu terjadi karena adanya recofusing anggaran. Selain itu, adanya pergeseran-pergeseran anggaran akibat recofusing, sehingga Dinas Perikanan mengalami keterlambatan dalam mengubah lagi rencana anggaran.
“Ada sebagian yang tadinya mau dimasukkan ke APBD Perubahan 2021, tapi karena APBD Perubahan tidak ada, akhirnya diusulkan kembali di APBD tahun 2022. Jadi, anggaran mereka baru terealisasi 62 persen. Atau dari Rp 90 miliar, mereka baru habiskan Rp 60 miliar lebih,” bebernya, usai memimpin rapat dengar pendapat (RDP) bersama Dinas Perikanan Kaltim dan Dinas Kehutanan Kaltim di Gedung E lantai 1 Kantor DPRD Kaltim, Kamis (18/11/2021).
Pun yang terjadi pada Dinas Kehutanan Kaltim. Dari anggaran yang disiapkan sebesar Rp 490 miliar, hanya mampu direalisasikan sebesar Rp 100 miliar. Penyebabnya adalah adanya perubahan regulasi yang signifikan dalam UU Ciptaker, dimana semua kewenangan ditarik ke Pemerintah Pusat.
“Dari Kehutanan ini sangat besar, yaitu Rp 490 miliar. Anggaran itu dari APBD Kaltim, ditambah dengan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kehutanan Dana Reboisasi (DBHDR) yang dari pusat Rp 100 miliar lebih, karena terjadi perubahan signifikan di UU Ciptaker kemarin. Akhirnya mereka hanya mampu menyerap Rp 100 miliar lebih saja, artinya masih ada Silpa kurang lebih Rp 300 miliar,” katanya.
“Memang Silpa itu terbanyak dari DBHDR yang diperuntukkan ke UPTD atau KPH, imbas dari UU Ciptaker, jadi kewenangan semua ditarik ke pusat,” sambung Veridiana Huraq Wang.
Dia melanjutkan, Dana Alokasi Khusus (DAK) dan DBHDR pada untuk Dinas Kehutanan Kaltim sudah sejak 3 tahun silam selalu dianggarkan kembali setiap pelaksanaan APBD, sehingga terlihat APBD Kaltim besar. Padahal kata Veridiana, anggaran-anggaran tersebut hanya “numpang lewat”.
“Sudah kurang lebih 4 tahun kita begini. Yang jadi tidak nyaman itukan akhirnya dimasukkan kembali ke batang tubuh APBD kita, seolah-olah APBD besar, padahal inikan numpang lewat saja dan tidak bisa dimanfaatkan. Kadang kita beranggapan punya APBD Rp 11 triliun, ternyata Rp 11 triliun itu setengahnya punya mereka. Jadi kita kejebak di situ dalam membaca postur APBD. Jadi hampir 4 tahun Silpa di kehutanan itu besar terus,” terangnya.
Politisi wanita dari PDI Perjuangan ini mencontohkan, anggaran yang disiapkan untuk kebakaran hutan pada Dinas Kehutanan Kaltim tidak bisa digunakan. Pasalnya, Kaltim tidak mengalami kejadian kebakaran hutan. Anggaran tersebut pun tidak bisa dialihkan penggunaannya untuk bidang lainnya, karena sudah terikat oleh regulasi. Termasuk kata dia soal KPH, yang mana kewenangan ditarik ke pusat.
Ditanyakan mengenai apakah RDP juga membahas mengenai usulan program dan anggaran dari kedua OPD tersebut untuk tahun 2022, Veridiana membenarkan. Dia menyebut, Dinas Kehutanan Kaltim mengusulkan anggaran sebesar Rp 200 miliar. Usulan ini “membengkak” lantaran adanya pemindahan pegawai di lingkupnya di kabupaten/kota ke provinsi. Sedangkan, Dinas Perikanan hanya mengajukan usulan anggaran sebesar Rp 90 miliar.
“Usulan itu yang kemarin diusulkan kembali sekitar Rp 139 miliar, tapi untuk APBD, mereka mengusulkan hampir Rp 200 miliar lebih. Terbesar memang untuk operasional belanja rutin Rp 155 miliar. Itu imbas dari ditariknya semua kewenangan yang ada di kabupaten/kota yang dilarikan ke provinsi untuk pegawainya, jumlahnya sekitar 800 orang,” katanya.
“Kalau Dinas Perikanan hanya usulkan Rp 90 miliar, ada penurunan. Itu hanya kebutuhan rutin dengan kebutuhan belanja langsung yang sudah disesuaikan dengan kemampuan daya serap SKPD,” tutupnya.
Penulis : Oen
Editor : M Jay