Catatan Aji Mirni Mawarni
Saya sungguh mengapresiasi langkah Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo melakukan pembenahan di internal kepolisian.
Jauh sebelum kasus Ferdy Sambo terkuak, 27 Oktober 2021, Kapolri sudah meminta anggotanya untuk benar-benar bertindak profesional (responsif dan melayani), hingga menjauhi tindakan yang dapat mencoreng nama baik institusi.
Kapolri mengatakan tidak akan ragu menindak tegas kapolda, kapolres hingga kapolsek, apabila tidak mampu menjadi teladan bagi jajarannya. Bahkan, ia menegaskan; “kalau tak mampu membersihkan ekor, maka kepalanya akan saya potong”.
Namun pasca kasus Sambo yang menggegerkan publik se-Indonesia raya, khalayak justru kembali menyaksikan fakta terbukanya sejumlah peristiwa yang membuat aparat polisi disorot tajam.
Mulai dari tragedi Kanjuruhan, dengan jumlah korban jiwa lebih dari 130 orang, insiden polisi menjilat kue HUT TNI di Papua Barat, hingga aksi polisi menyuruh mahasiswa meminta maaf kepada anjing di Maluku Utara.
Di tengah berbagai dinamika, Presiden Jokowi pun mengundang 559 perwira Polri ke Istana Negara. Mereka sengaja diminta datang tanpa membawa topi, tongkat komando, maupun ponsel.
Saat itu, Presiden Jokowi menyebutkan bahwa masyarakat kini semakin kritis menyoroti institusi Polri. Presiden mengingatkan jajaran Polri agar memiliki sense of crisis, responsif, juga berhati-hati dengan gaya hidup dan tindakan yang masuk kategori pelanggaran.
Secara terbuka, Presiden Jokowi menyebut berbagai pelangaran yang dikeluhkan masyarakat luas. Mulai dari pungli, tindakan sewenang-wenang, pendekatan represif, praktik mencari-cari kesalahan hingga gaya hidup mewah.
Pasca pertemuan tersebut, Kapolri mengumumkan pengungkapan kasus narkoba yang menyeret sejumlah anggota polisi, bahkan seorang jenderal bintang dua. Saya pun sangat mengapresiasi keterbukaan Kapolri dalam kasus ini.
Sebagai wakil daerah, saya berharap momentum pembenahan internal ini bisa benar-benar menyeluruh dan totalitas dari atas ke bawah, dari hulu ke hilir, kasus besar sampai kecil, mencakup lintas bidang dan lintas persoalan, sepenuh hati dan sejujur-jujurnya.
Termasuk “bersih-bersih serius” dalam kasus peredaran narkoba. Kasus ini sangat krusial. Pasalnya, mayoritas narapidana kasus narkoba hingga kini mendominasi hunian Lapas di Indonesia. Alangkah disayangkan jika ternyata oknum anggota Polri juga terlibat di dalam pusarannya.
28 Juni 2022, Jaksa Agung RI ST Burhanuddin, mengungkapkan sebanyak 115.716 dari 228.516 (50,63%) narapidana yang sedang menjalani masa tahanan di lapas di seluruh Indonesia merupakan narapidana kasus narkoba. Kondisi itu membuat kapasitas lapas menjadi overcrowded.
Jaksa Agung menilai ironis, karena narapidana kasus narkotika itu sebagian besarnya bukanlah pengedar atau bandar. Melainkan pengguna atau korban tindak pidana penyalahgunaan narkotika; yang seharusnya tidak perlu dipenjara, tetapi direhabilitasi.
Saya berharap aparat hukum benar-benar serius memberantas para “pemain besar”, terutama para bandar, sampai ke akar-akarnya. Jangan sampai ada praktik “tukar kepala”, dimana bandar dilepas, justru pengguna dan korban yang dijerat.
Polri juga perlu bersinergi dengan BNN untuk membuka ruang rehabilitasi medis dan sosial secara luas bagi warga yang secara sukarela melaporkan diri, maupun para pengguna dan korban yang memenuhi syarat sesuai Pasal 54 UU 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Yang pasti, kita semua berharap, semoga agenda besar pembenahan Korps Bhayangkara benar-benar terwujud secara total dan berkelanjutan. Bravo Polri!